piasss...
bias-bias air laut menyentuh tepian karang dengan sedikit garang. menebar pecah bagai benih yang di sebar para petani untuk di semai, dan di tuai kemudian hari...
Krikkk...Krikk...Krikkk...
Suara kursi batu yang ku duduki saling bergesekan dengan hembusan angin laut yang membelai lembut tubuh kerasnya, serta menyapu helai demi helai rambut hitamku membentuk lambaian-lambaian cantik di tengah hari yang cerah.
Perlahan jari jemariku mulai ku eratkan di dalam dekapan, mengingat hari itu, hari yang berbeda dari hari ini. namun masih di tempat yang sama. di hadapan bibir pantai, di bawah payungan awan cerah bagai kapas, dan di atas kursi batu sebagai saksi bisu.
Semilir angin pantai seakan membawa kabar bisu tentang keberadaannya, bagai memberikan sepucuk amplop tanpa surat didalamnya.
Hening...
Tok tok tok tok
Lamunanku sedikit pecah, ku singkapkan rambut halus yang sedari tadi menghalangi pandanganku, dan mulai menolehkan tatapan kosong kearah asal suara.
Sebuah perahu layar sederhana terlihat sedang merapat di tepi pantai, suara gaduhnya yang saling bersentuhan dengan beberapa karang seakan memberikan sebuah arti tersendiri dalam ceritaku.
Di sana dulu kami pernah bermain bersama, saling bercanda, dan berkejar-kejaran di atas pasir pantai, yang sesekali terasa mengganjal di sela-sela jemari kaki.
Berkejar-kejaran seharian hingga tanpa sadar matahari mulai menutup plupuk cakrawalanya. aku hanya tersenyum mengingat tatapan tulusnya saat itu, wajah yang tersenyum simpul menatap penuh arti.
Suasana saat ini seakan-akan ingin mengingatkan segala cerita lama itu pada diriku, sosok yang terdiam di atas sebuah kursi batu dingin yang menghadap kearah bibir pantai yang bebas menyapa lautan.
Hemmm...
Aku menarik napas dalam, membiarkan mereka bebas menelusup keseluruh bagian tubuhku. dan perlahan membuangnya. dengan senyum simpul kembali membenarkan letak rambutku yang tersibak oleh hembusan angin pantai.
Rasa rindu itu kembali menelusup, perasaan saat-saat kedua tangan, dan tubuh itu mendekapku. saling berdekatan, memadukan kehangatan. Melihat indahnya mentari senja yang mulai mengalah pada malam, dan perlahan menutup pelupuk matanya di seberang cakrawala dunia. jauh di ufuk barat lautan yang seakan tak berbatas. aku semakin merindukannya.
Sekali lagi ku perhatikan sekeliling, bukan untuk hal aneh-aneh, hanya mengharapkan suatu keajaiban datang. Memunculkan sosoknya di sini, bersama ku menikmati mentari yang mulai tenggelam di sana.
Tetapi yang terlihat hanyalah Dermaga kosong., dan Bongkahan kayu, sisa bukti pernah berdiri sebatang pohon besar yang kini telah terjajah oleh lumut-lumut hijau. lembab.
Wajahnya sendu dengan beberapa tangkai bunga mawar yang sersusun rapi dibalik gulungan sebuah plastik kaca bermotif, dan seikat pita merah muda yang menjuantai. tanpa sadar setetes hujan bening menelusuri pipinya. ia menelan napas, mulai melangkah duduk kesisiku. meletakkan bunga-bunga indah tersebut disisinya. dan ia mulai menarik napas panjang. lalu perlahan membuangnya kembali.
" Masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu, seakan ia masih ada disini, disisiku, bersamaku. semoga kau tenang disana... " Suara rendah terdengar dari balik bibirnya. aku hanya dapat menatap kosong kearahnya saja. namun seakan ada sesuatu yang sangat mengharukan di hatiku sehingga tanpa sadar hujan juga mulai berjatuhan membentuk sepasang sungai kecil di pipiku.
" Aku percaya, kita pasti akan bertemu kembali di sana " sosok tersebut mulai bangkit dan meletakkan bunga yang ia bawa tetap di atas kursi batu yang ku duduki saat ini.
langkah gontainya perlahan menjauh, dan menghilang, meninggalkan aku sendirian di sini. kembali menikmati hembusan angin pantai, matahari terbenam, dan seikat mawar indah.
No comments:
Post a Comment