Wah...
setelah seminggu berlalu akhirnya Selokan siap untuk mengeluarkan Free
me bagian 8 Nih. Bagaimana kisah ketiga tokoh utamanya kali ini, tidak
usah berlama-lama lagi, untuk para Seloker pecinta Free me, ini dia Free
me bagian 8 : Semuanya bagaikan gajah dipelupuk mata.
Siang
itu disalah satu warung sederhana yang baru saja dibuka beberapa minggu
dihadapan beberapa gedung perkantoran yang mentereng, dan
bangunan-bangunan sekolah yang tidak jauh dari sana.
Dimas sang pemilik warung terlihat melamun, menggenggam piring yang hendak dicucinya.
Marchel kini telah jauh berubah seperti yang diperkirakannya dari dahulu.
“Hemmm...
Akhirnya si badung itu kini telah berhasil…..” Ungkapnya dalam hati.
Disisi lain Dimas juga sedikit melirik nasibnya dan adiknya.
Siang
itu, Dimas menghindar dari kejaran Marchel bukan berarti dia tidak
ingin bertemu dengan sahabat lamanya itu. Bila harus jujur, Ingin
rasanya Dimas berbalik, dan memeluk
Marchel di saat itu juga, tapi keadaannya kini jauh berbeda dari keadaan
Dimas-Marchel yang dulunya
bersama, Dimas-Marchel beberapa tahun lalu yang telah berbeda dengan
saat ini.
“Kok melamun, Bang….” Sapaan Dino sang adik membuyarkan lamunan Dimas.
“Eh… udah pulang sekolah, ya? Gimana sekolahnya No?” Tanya Dimas berusaha menghilangkan raut keterkejutan di wajahnya.
“Sekolahnya
asyik, Bang. Banyak teman. Ooo...Ya, Kata ibu guru, Besok orang tua,
atau wali murid disuruh datang kesekolah Bang... Dino kan udah gak punya
Ayah, sama Mama lagi. jadi Abang besok yang datang kesekolah Dino
ya?”Dino berkata dengan polosnya dihadapan Dimas yang sebenarnya sedikit
prihatin melihat keadaan adik semata wayangnya ini.
Dimas merengkuh kepala adiknya ke dada, dan mengusap rambutnya yang ikal.
“ya udah…. Sana ganti baju, trus bantu Abang di warung. Ntar lagi jamnya rame nih….” Kata Dimas diikuti Dino yang berlalu.
Sejak
Dimas membuka warung makanan, kehidupan mereka mulai membaik.
Warung begitu ramai dikunjungi anak-anak muda, karena warung tersebut
sengaja dibuat
dengan gaya anak muda. Menu yang ditawarkan juga bermacam-macam. Mulai
dari menu tradisional sampai menu-menu biasa seperti menu yang sesuai
dengan kantong para anak muda. Dan lokasinya yang strategis berdekatan
dengan area persekolahan, dan perkantoran
begitu menguntungkannya.
“Siang, Bang…” suara Mario membuyarkan lamunan Dimas.
“Eh, Rio… siang.. gimana parkiran hari ini? Rame?” Tanya Dimas sambil menyiapkan Es Teh Manis seperti yang biasa dipesan Mario.
“Mau makan apa nih?” tanya Dimas sambil menyerahkan Es Tehnya.
“Biasa
aja, bang… Nasi Goreng porsi laper hehehehhe Sama Siomay. oh ya
kerupuknya dibanyakin Bang… hehehhe..” Kata Mario sambil mengedipkan
sebelah matanya, dan berbisik sekali lagi "porsi laper".
“Eh...Masih kecil, udah genit…” kata Dimas sambil memasang muka sangarnya.
“Hehe… btw, Abang kenal gak sama yang suka bawa mobil Opel warna hitam yang
kerja di kantor itu?” Tanya Mario sambil menunjuk kearah perkantoran.
“Mana bisa kakak kenal orang-orang kantoran seperti mereka? Makannya aja
di restoran mewah. Mana mau mereka makan di warung kecil seperti ini….”
Jawab Dimas acuh tak acuh, masih disibukkan dengan olahan nasi goreng yang sedang ia aduk-aduk diatas penggorengan.
Dimas memandang Mario dengan pandangan aneh. Kedua tangannya sibuk menyiapkan nasi goreng pesanan Mario.
“Emang kenapa?”
“Kemarin dia nolongin Rio waktu di keroyok. Saking gugupnya Rio ga sempat
nanya namanya. Dia ngantar Rio sampe parkiran Bang….” Kata Mario dengan wajah
menyesal.
“Tungguin
aja terus dia diparkiran sampai pulang kantor, tar kalo jumpa tanyaain
tuh namanya… Bahayanya kalo dia tau Rio gay, Hemmm... dia bakal
ngehindar lho….”
“Kali aja dia Gay juga bang wkwkkwkwkwk…..”
“Mimpi lo…. Nih makan dolo nasi gorengnya.. ntar abang bikin siomay-nya dulu…” Kata Dimas sambil berlalu kembali kearah dapur.
Kini warung mulai terlihat ramai. Ada pelanggan yang lama dan ada yang
datang membawa pelanggan yang baru. Dimas, dan adiknya mulai terlihat
kewalahan. Biasanya jam makan siang seperti ini tidak seramai ini.
Mario memandangi Dimas yang kewalahan. Adiknya yang sibuk menerima
pesanan makanan dan menyajikan makanan tidak banyak membantu. Mario
membuka Kemeja sekolahnya. Kini dia memakai kaos oblong putih dengan
celana abu-abu. Mario mendekati Dino yang menulis menu yang dipesan.
“Sini…
gue aja. lo bantuin kak Dimas ngantar makanan sana No…” Kata Mario
sambil mengambil note yang dipegang Dino. Dino mengangguk.
“Silahkan pak, mo mesan apa? Kita menyediakan banyak menu disini..
asalkan bapak bisa menunggu, kami pasti memberikan yang paling enak.
Lebih enak dari restoran manapun lho..…”
Bapak itu tersenyum mendengar celotehan Mario yang berlebihan.
Mario menulis pesanan dan dibawanya ke Dimas. Dimas tersenyum melihat tingkah laku Mario yang menggoda para pelanggannya.
“Selain enak… makanan kami mempunyai nilai gizi yang tinggi, mbak.. coba
aja mbak sering makan disini. Pasti awet muda… mbak yang udah cantik…
makin cantik deh…”
“terima kasih, Rio… sudah membantu Abang disini..” kata Dimas setelah warung
mulai normal. Karena jam makan siang sudah berlalu. Kini hanya terlihat
beberapa orang yang menikmati hidangannya.
“Ngak apa-apa bang.. Rio cuman mo bantu Abang aja. Kalo perlu bantuan lagi Rio bisa bantu lagi koq…” Kata Mario.
“Kalo Rio gak sibuk sih… bisa aja bantu abang di sini. Ntar abang bisa ngasih upah..”
“Nggak perlu deh bang…. Udah makan disini aja udah cukup..”
“Yaudah… ntar kalo gak jaga parkiran, Rio kesini aja… bantuin warung abang..”
“Ok, deh…. Rio jaga parkiran lagi ya…”
“Kalo ketemu orang yang di Opel,… nanya aja namanya jangan malu-malu…”
“hehehe… beres bang….”
Dimas memandang punggung Mario yang berlalu. Dia baru mengenal Mario
beberapa minggu lalu waktu dia membuka warung ini. Dimas begitu heran
dengan anak itu yang begitu terus terang. Dengan entengnya anak itu
berterus terang dengan mengatakan bahwa dia Gay.
Disisi
lain, tidak jauh dari warung dimas, tepatnya didalam salah satu ruangan
gedung perkantoran yang mentereng megah dihadapan warung sederhana
Dimas.
Terlihat Marchel yang sedang memutar-mutar ujung pensilnya, mencoret kertas putih buat sketsa.
Dia menggambar bentuk bulatan dari yang besar sampai kecil.
Disampingnya teman-teman sekantornya memandangi dengan tegang pimpinan
perusahaan yang memberikan pengarahan di depan ruangan meeting.
“Aku tau itu kamu, Dimas… tapi kenapa kamu ngehindar dariku? Apa kamu
tidak mengenalku lagi? Apakah aku begitu berubahnya dari aku yang dulu?
Sehingga kamu nggak mau bertemu denganku?”
“Saya begitu bangga memiliki karyawan seperti kalian.. mempunyai
dedikasi yang tinggi terhadap perusahaan. Dan saya berjanji untuk selalu
memberikan penghargaan bagi yang berprestasi…” terdengar penyampaian
dari pimpinan perusahaan.
Marchel terdiam sesaat. Memandang kearah Pimpinannya. Tetapi kemudian dia kembali sibuk dengan pikirannya.
“Kenapa kamu begitu lusuh dan kurus, Dimas… apakah hidupmu bahagia atau
sebaliknya? Aku tahu musibah keluargamu dari mama dan papa. Aku mau
membantumu, Dimas.. tapi kau tak pernah bisa kutemui ...”
“Saat ini kita mendapat sebuah proyek periklanan yang besar. Ini adalah
hasil usaha dari seorang karyawan yang paling berpotensi di perusahaan
ini.. kita beri applause untuk saudara Marchel…..”
Terdengar tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Marchel masih terdiam
menekuni coretan pensilnya yang kini terlukis gambar seseorang di kertas
itu.
“Aku masih ingat wajah kamu, Dimas… apa kamu masih ingat wajahku? Kamu
begitu lucu kalau tertawa…. Tapi aku lebih suka melihatmu kalau kamu
cemberut.. sahabatku…”
“Karena proyek ini besar, jadi kuserahkan ke saudara Marchel untuk mengurus proyek ini…”
Semua memandang kearah Marchel. Terlihat Marchel sibuk memperhatikan
ujung pensil yang di dekatkan kearah kedua matanya tanpa menyadari
seluruh mata sedang tertuju kearahnya.
“Ehem…..” teman di sampingnya berdehem sambil menyikut Marchel.
“Eh… ya?...” Marchel kaget sambil memandang kearah pimpinannya dengan wajah polosnya. Tapi dengan cepat dia menguasai suasana.
“Maaf saya tidak bisa menangani proyek ini, pak…”
Terdengar riuh suasana rapat. Marchel yang biasanya antusias mengambil
alih hampir semua proyek besar kini menolak proyek sebesar ini? Semuanya
memandang dengan pandangan heran.
“Alasannya?” Tanya pimpinannya.
“Aku mengambil cuti minggu depan selama 2 minggu…”
“Kan cutinya bisa ditunda..”
“Cuti itu haknya karyawan, pak.. dan saya menuntut hak saya..”
terdengar lagi riuh suasana rapat. Pimpinannya terlihat salah tingkah
dengan ucapan Marchel barusan. Marchel tau dia pasti marah. Tapi niatnya
untuk mengambil cuti tidak mungkin tertunda.
“Tapi kamu yang paling cocok dengan proyek ini.. nggak mungkin kan kita
melepas proyek ini ke saingan kita.. tolong saudara Marchel
mempertimbangkannya lagi..”
Marchel berdiri sambil memperlihatkan wajah seriusnya.
“Diruangan ini ada 24 karyawan termasuk saya. Dan yang satu department
dengan saya ada 18 orang. Mereka masuk disini karena kemampuan mereka
yang berada diatas rata-rata, dan hasil saringan dari ratusan pelamar.
Kenapa sih bapak tidak pernah memperhatikan salah satu dari mereka
dengan mempercayakan sesekali proyek seperti ini? Saya yakin mereka bisa
seperti saya.. bahkan mungkin bisa melebihi kemampuan saya.. mereka
hanya butuh kepercayaan, pak…. Itu yang bapak perlu pertimbangkan.
Terima kasih….”
Terlihat wajah-wajah tegang rekan-rekannya memandangnya dengan penuh
kekaguman. Banyak diantara mereka yang begitu iri kepadanya sehingga
memusuhinya. Tetapi perkataannya barusan membuat mereka menjadi
mengaguminya. Diantara mereka, Marchel yang paling muda. Kini Marchel
kembali pada kegiatannya semula, mencoret-coret kertas sketsanya.
“Aku pasti menemukan kamu, Dimas… selama kamu masih di kota ini, niatku nggak akan pernah surut…” batin Marchel.
Bersambung....
Apakah
Mario berhasil mengetahui nama pria tampan yang menyelamatkannya ?,
Apakah Dimas dapat memperbaiki taraf hidupnya untuk Dino sang adik
semata wayangnya ?, atau berhasilkan Marchel menemukan Dimas yang bagai
gajah di pelupuk mata, namun sama sekali tidak kelihatan ?, tunggu aja
kelanjutan Kisah Free me selanjutnya....
Meonggoblog.blogspot.com
Thanks to Everyone to came in our Kingdom.
Meonggoblog.blogspot.com
Thanks to Everyone to came in our Kingdom.
No comments:
Post a Comment