Setelah Mario pergi dari rumah akibat kemarahan ayahnya, Dimas yang menjadi waria untuk menghidupi adiknya ditangkap polisi, dan Marvel yang merupakan konsultan hebat akhirnya mendapatkan kontrak bernilai ratusan juta, bagaimanakah ketiganya akan di pertemukan oleh takdir yang menyeret mereka dalam satu cerita. mau tau kelanjutan ceritanya. yuk kita baca sama-sama Free me bagian 2 nya. Cek this ...
Dimas memandang dengan kesal Polisi yang menginterogasi mereka.
“Enak saja mereka bilang ngelanggar hukum.. komputer yang dipake
paling-paling hasil sitaan… belum lagi softwarenya paling-paling
bajakan…” Kata dimas perlahan kepada kedua temannya sambil mereka
berjalan menuju ruang tahanan.
“Gak ada lagi keadilan dinegeri ini.. jangan sok, deh.. negara aja
miskin gini. Nyari uang susah. Lapangan pekerjaan juga kurang…”
“Ganti pakaian kalian dengan pakaian ini…” kata kepala tahanan di
ruangan kecil yang berseberangan dengan ruangan tahanan. Dimas memandang
kepala tahanan itu yang kira-kira berumur 40-an dengan tubuh yang tegap
berisi dengan pakaian polisi lengkap. Wajahnya terlihat bersih dengan
kumis tipis menghias disitu.
“Waaaa…. disini pak?.. sekarang?....” tanya teman Dimas. Dahinya berkerut.
“Ya iya… emang kalian mau ganti di ruang tahanan?” tanya kepala penjara itu.
“Nggak pak… disini aja… jangan disitu ihh…” lanjut salah seorang teman Dimas.
Dimas mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Diikuti kedua
temannya. Petugas itu menatap tubuh mereka yang sedang mengganti
pakaian. Matanya melihat 3 lelaki dengan salah seorang yang tampan berdiri berjejer dengan
pakaian seragam berwarna abu-abu.
“Boleh saya menghubungi keluarga saya, pak?” tanya Dimas hati-hati.
“Oh,… silahkan..” kata petugas itu. Matanya memandang Dimas dengan penuh
arti. Dimas membalas pandangan itu dengan senyum yang paling manis.
Dimas menghubungi seseorang dengan HP-nya.
“Mbak Dita… saya minta tolong. Saya lagi ada masalah dengan polisi.
Ehmm… gak apa-apa kok…. Cuman beberapa hari ini saya minta tolong jagain
adik saya, Dino…”
Dita adalah teman kosan Dimas. kamar mereka berseberangan. Dita orangnya
baik dan penolong. Dimas sering meminta bantuannya jika dalam masalah.
Dita mengerti semua masalah Dimas.
“Terima kasih banyak, mbak… mudah-mudahan masalah ini cepat selesai…”
kata Dimas menutup pembicaraan. Terlihat kedua temannya sudah selesai
menelpon juga.
“Berapa lama kami akan ditahan, pak?..” tanya teman Dimas yang satu.
“Yah… tergantung atasan saya. Kalau kasus kalian kecil yah paling-paling gak bakalan lama…”
“Jangan lama ya, pak…..” kata teman Dimas yang satu dengan sendu.
“Saya masih punya orangtua yang harus saya urus… mereka gak bisa kerja lagi..”
Ketika mereka menuju keruang tahanan terlihat para tahanan berkerumun di
jeruji ruang tahanan berebutan melihat mereka. Salah seorang anak buah
kepala tahanan tersebut membuka pintu untuk mereka.
“ini ada teman baru buat kalian. Jangan persulit mereka, ya… “ kata
kepala tahanan itu. Dia menarik tangan Dimas dan berbisik ditelinganya.
“Kalau ada yang macam-macam sama kamu. Laporkan ke saya…” katanya sambil
tersenyum. Dimas membalas senyuman itu sambil mengangguk.
Terasa lain suasana ketika mereka memasuki ruangan tahanan itu. Sesuatu
yang hilang terasa sekali bagi mereka. Kebebasan sebagai seorang manusia
tidak ada lagi. Kini seluruh mata memandang mereka. Begitu mengerikan
berada di tengah-tengah para penjahat. Mulai dari kelas bawah hingga
kelas pro.
“Silahkan menghadap lurah kami….”
Kata seorang tahanan yang berperawakan kecil kurus dengan mata yang
cekung. Dimas dan kedua temannya berjalan kearah yang ditunjuk. Mereka
memanggilnya Lurah karena dia sudah 3 bulan menghuni tahanan. Padahal
itu sudah melebihi waktu yang diberikan. Tapi karena kasusnya belum juga
disidangkan maka dia masih disini.
“Eit… sebagai orang baru kalian harus berjalan jongkok…”
Terlihat wajah protes Dimas. Tapi karena tidak mau ada masalah, mereka
mengikuti apa yang diperintahkan. Ditengah pandangan mata puluhan orang
di tahanan itu mereka berjalan sambil jongkok. Sekitar 20 meter mereka
melakukan hal itu.
Mereka dibawa menghadap seseorang yang mereka panggil “Lurah”. Badannya
besar tapi kelihatan bersahabat dan ramah. Dia mempersilahkan Dimas dan
teman-temannya berdiri.
“Apa kasus kalian? Membunuh? Mencuri? Trafficking?... ” tanya Lurah tersebut.
“Asusila pak..” jawab Dimas.
“Owh…” Lurah itu memandang mereka dari ujung kaki sampai kepala.
“Pantas… cakep-cakep…”
Terdengar suara riuh saling berbisik diantara para tahanan.
“Kalian bisa menempati ruangan nomer 3. ruangan itu kecil, dan sudah
dihuni 2 orang. Kita saja disini sudah over kapasitas. Biasanya hanya
menampung 30 orang kini sudah 75 orang. Ternyata banyak juga penjahat,
ya…?” katanya sambil bergurau.
“Setiap 2 jam kita harus berbaris untuk pemeriksaan. Kalian harus
menghafal nomor tahanan kalian. Makan 3 kali sehari. Air dijatahin.
Silahkan berkenalan dengan teman-teman kalian….” Katanya lagi.
Ketika keluar dari kamar Lurah itu, mereka disambut kembali oleh pria kecil kurus tadi.
“Ayo silahkan kumpulin uang buat beli rokok buat pak Lurah dan teman-teman lain… itu harus buat penghuni baru disini..”
Dimas memendangnya dengan tajam. Dikeluarkannya uang lima ribuan dari kantongnya. Diikuti kedua temannya.
“Awas.. jangan bilang-bilang ke pak petugas, ya… jangan buat masalah.” Katanya lagi.
Dimas dan kedua temannya menuju ruangan kamar untuk mereka. Mereka
terduduk di tempat tidur yang ‘empuk’ yang terbuat dari beton. Dengan
beralaskan tikar tipis dan bantal yang lumayan kumal penuh dengan
keringat ribuan orang ‘penjahat’ mereka berbaring.
“Tiga sekawan….. 74, 75, 76 silahkan menghadap pak kepala…” terdengar teriakan dari pintu tahanan.
Dimas dan kedua temannya saling berpandangan. Mereka belum terbiasa
dengan nomor tahanan mereka. Mereka bangkit dengan segera dan menuju ke
pintu tahanan.
“tahanan 74 saja yang keluar menghadap pak kepala di ruangannya…” kata petugas yang membuka pintu tahanan.
“Itu saya, pak…..” kata Dimas. Kedua temannya terlihat ketakutan.
“Jangan tinggalkan kami…. Keluarkan kami juga….” Kata temannya dengan ketakutan.
“Gak lama kok… gue bakal balik lagi…”
Dimas berjalan pelan menuju ruangan kepala tahanan.
“Silahkan duduk… nama kamu Dimas, kan?” tanya kepala tahanan yang duduk santai di ruangannya.
“iya, pak…”
“Saya dengar… ada yang memalak kalian, meminta uang dari kalian?” tanya kepala tahanan itu.
Dimas memandang kepala tahanan dengan tatapan penuh tanya.
“Kamu gak usah berbohong. Kan aku udah bilang… laporkan ke saya kalo ada yang macam-macam…”
Seseorang masuk lagi dengan kawalan seorang petugas. Ternyata pria kurus
tadi yang meminta uang dariya. Wajahnya penuh dengan ketakutan. Dimas
terlihat kaget.
“Seseorang melihat… kalian memberikan uang kepadanya… apa dia memeras
kalian?” tanya kepala tahanan. Dimas terlihat memikirkan sesuatu.
“Hmm… nggak, pak…” jawab Dimas singkat. Terlihat wajah ketakutan pria kurus itu berkurang.
Kepala tahanan memandang dengan cermat kearah Dimas dan pria kecil itu.
“Jangan bohongg!!!!....” teriaknya keras sambil membenturkan kepalan tangannya ke meja membuat mereka tergetar sesaat.
“saya gak bohong, pak… saya dan teman-teman saya mau berkenalan dengan
mereka.. jadi kami mengumpulkan uang buat beli rokok buat bersama pak…
gak ada paksaan sama sekali..” jelas Dimas dengan tegas sehingga
kebohongannya bisa ditutupi.
“ya sudah… bawa dia kembali ke dalam… Dimas tinggal disini sementara…” kata kepala tahanan dengan suara ramah kembali.
Pria kurus itu keluar diapit seorang petugas.
Kepala tahanan itu memandang dimas dengan tersenyum.
“Pintar juga kamu berkenalan dengan mereka…… “ katanya penuh arti.
Dimas hanya tersenyum mengerti dengan perkataan kepala tahanan itu.
“Katanya kamu kerja di salon, ya? Itu menurut BAP kalian lho…”
“iya pak…. Saya 3 bulan kerja di salon..”
“Bisa pijat kepala dan bahu saya?... soalnya akhir-akhir ini sering pegal.. bisa kan?” tanya kepala tahanan itu.
“Iya pak.. saya bisa…” jawab dimas sambil berdiri.
Kepala tahanan itu berdiri menuju kursi sofa yang letaknya tak jauh dari
Dimas dan berbaring telungkup disitu. Dimas duduk disamping tubuhnya
dan meletakkan tangannya di punggungnya sambil mulai memijit. Terasa
tangan Dimas menyentuh tubuh kekar padat berisi yang membuat dadanya
berdesir aneh. Mata Dimas memandangi dengan leluasa polisi yang masih
berpakaian lengkap itu dari ujung kaki, paha kekarnya, pahanya,
pinggangnya, bahunya. Andaikan saja dia tanpa selembar kain, pasti lebih
menarik, batin Dimas.
“Ahh…. Nyamannya..” terdengar suara kepala tahanan itu. Suaranya seperti
mengajak Dimas untuk lebih leluasa memijit bagian-bagian tubuhnya yang
lain. Andaikan saja……, batin Dimas.
Bersambung lagi
Meonggoblog.blogspot.com
Thanks to Everyone to came in our Kingdom.
No comments:
Post a Comment