Sudah bertahun-tahun aku hidup di sini bersama semilir tiupan angin, bersama derasnya guyuran hujan, bersama teriknya cahaya mentari, dan bersama seluruh nuansa dunia.
Memiliki dahan-dahan indah menggoda berhiaskan lembar-lembar dedaunan.
Bertengger kuat di setiap bagian tubuhku
Aku selalu diam kaku di sini, sebagai saksi bisu.
Tak ada hal yang dapat ku lakukan selain memandang dengan serius kesegala arah walau ku tak memiliki sepasang mata.
Mendengar setiap obrolan makhluk-makhluk hidup walau ku tak memiliki sepasang telinga.
Menghirup aroma-aroma debu dan udara polusi walau kutak memiliki sebuah hidung.
Menguraikan CO2 menjadi O2 adalah rutinitas ku sehari-hari, atau hanya menyerap air-air dan zat hara dari tanah agar aku bertahan hidup sampai waktuku tiba. Mengolahnya melewati setiap ruas-ruas akar kuat ku yang sudah berpuluh-puluh tahun berdiri di sini.
Kehidupan keras sudah kualami bersama deru badai dan hujaman terik mentari, namun apa daya aku tak mampu bergerak kesana kemari, hanya diam di sini menggugurkan daun dan bungaku untuk mengurangi panas dan dahaga atau menyemaikannya di kala hujan turun untuk membuat makanan bagi diriku dan makhluk lain di dunia ini.
Suara isak itu terdengar disekitar diriku berdiri kokoh, dengan setiap pandangan mengarah kesegala arah walau aku tak memiliki sepasang mata.
Dia duduk di emperan bangku semen yang mengelilingiku dengan wajah tertunduk dan punggung bidang membelakangiku. Dari dandanan dan penampilannya aku mengetahui dia salah seorang Siswa Sekolah Menengah Atas yang berada di sekitar kediamanku.
Wajar saja aku menerkanya sebab itu adalah celana abu-abu dan baju putih, ciri2 wajah ceria dan semangat yang sering duduk menikmati makanan ringan atau segala macamnya di bangku duduk yang mengelilingi ku.
Sekejab kemudian ia telah menengadahkan kepalanya menghadap ke langit lepas bercat biru muda, matanya berbinar, ia berbalik ke arahku dan mulai mencari-cari sesuatu di dalam sakunya.
Sebuah pisau kecil yang biasa di gunakan dalam pelajaran prakarya kesenian .
Ya...,tuhan sependek inikah pikiran manusia, makhluk yang di katakan sangpencipta lebih tinggi derajatnya dari pada kami.
Pisau itu di bukanya. Ia mulai mengasahnya dengan kuat. Hatiku bergetar hebat walau aku tak memiliki sebuah hati karena tak ada darah di tubuhku. Semakin cepat ia mengasah semakin tajamlah kelihatannya pisau itu.
Aku masih berdebar walau aku tak memiliki jantung, apakah ia akan mengakhiri hidupnya di sini, kenapa memilih sebatang pohon kalau ia ingin mati dengan pisau.
kenapa tidak dengan tali saja yang biasa ku lihat di televisi hitam putih yang selalu bertengger di warung gorengan di seberang sana.
Bila aku dapat melakukan sesuatu namun tubuhku hanya diam saja, walau sekuat apa aku menggerakkannya ia tak mau bergerak. Pilihlah tali bila ingin mengakhiri hidupmu yang berharga itu maka aku akan mematahkan rantingku yang kau gunakan untuk mengakhiri hidup, namuan bila kau menggunakan sebuah pisau, aku tak tau cara menghalanginya.
Suara sayatan mulai terdengar dari belatih di tangannya. Ya tuhan aku tak kuasa melihatnya.
Aduh !, rasa apa ini ?.
Kenapa aku yang sakit ?.
Perlahan ku buka tatapan ku, “Hei… apa yang kau lakukan “ suara ku tak terdengar, sesuatu sedang sibuk bergerak-gerak lincah mengupas kulit-kulit keras tubuhku, ia mulai mencongkel dan menyayatnya membentuk suatu ukiran lain di rantingku.
Kalau tau begini seharusnya aku tak berdoa untuk keselamatannya. Karena siswa nakal ini memberikan cacat aneh di salah satu ranting tubuhku.
“ I love Iqbal“
tulisan aneh yang tergambar di salah satu dahanku, setelah itu ia tersenyum sendiri. Air matanya telah musnah di telan waktu dan mengering. Dia mulai menelan ludah dan menarik napas panjang.
Sepertinya hal aneh yang di lakukannya telah memberikan dia kebebasan.
“ Aku Cinta Iqbal…..??????” apa maksudnya, Aneh.
Tapi mungkin memang benar makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dari pada kami, karena setiap yang mereka lakukan kami sama sekali tidak mengerti maksudnya.
Tapi mereka bisa mengerti keinginan kami.
Udara polusi menyapu wajahnya yang sudah tak sedih lagi.
Kembali ia merogo saku celana abu-abunya.
Ya tuhan apa kali ini ia akan mengeluarkan seutas tali, bila benar maka.
Eh …, salah lagi, selembar kertas ia lipat rapi dan di selipkannya di di antara dahan-dahan ku yang saling mengapit. Apakah ini harapan ?. atau ia berfikir bahwa pesannya akan tersampaikan suatu saat? Atau ia menginginkan suatu hari di lain masa ada seseorang yang menemukannya dan melanjutkan ceritanya dengan bukti ukiran di tubuhku ?. Atau……………
Sudah lah aku tak akan pernah mengerti perasaan makhluk di hadapanku ini. Mereka terlalu istimewa untuk di kaji dengan pemikiranku yang tak akan pernah dapat melampawinya.
Lagu merdu terdengar di telingaku walau aku tak memiliki telinga.
Lagu merdu yang berasal dari sebuah benda kecil dengan kaca bercahaya didalam genggaman tangannya. Wahhh… itu sering ku lihat walau aku tak tau apa gunanya. Apakah itu juga makhluk hidup ?.
AKUKAN BERTAHAN MESKI TAKKAN MUNGKIN MENERJANG KISAHNYA
WALAU PERIH
AKU KAN BERTAHAN MESKI TAKKAN MUNGKIN MENERJANG KISAHNYA
WALAU PERIH WALAU PERIH.
Aku terkejut bukan kepalang saat ia bernyanyi, suaranya cukup merdu, dan perasaan itu menyebabkan ia kembali berkaca, namuan di wajahnya tak ada kesedihan.
Ada semangat.
Ada semangat di wajahnya.
Kini ia bangkit meninggalkan diriku dan selembar kertas bersama ukiran berbunyi I love Iqbal di tubuh ku yang berdiri kokoh diam.
Tubuh peria itu mulai menjauh dan menghilang.
Dalam benak ku aku masih memikirkan apa sebenarnya yang sedang di alami peria muda ini,.
Ia terlihat begitu tak terkendali beberapa saat.
Terlihat senang beberapa saat.
Sedih kemudian.
Dan akhirnya pergi dengan wajah semangat.
Manusia memang makhluk aneh.
Aku hanya bias tersenyum memandang semuanya walau aku tak memiliki sepasang bibir.
Song of Rasa Ini and Perih By Vierra
Baca lanjutannya disini
http://meongg9.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment